Mengenal Diri sebagai Pelatihan Bertahap

Selama berabad-abad tak terhitung jumlah filsuf dan rohaniawan menginvestasikan waktu dan energi mereka untuk bergulat dengan pertanyaan, “Siapakah aku? Mengapa aku ada? Untuk apa aku ada? Bagaimana semestinya aku menjalani hidup? Mengapa aku menderita? Mengapa ada begitu banyak penderitaan di dunia ini? Apa yang terjadi kemudian setelah aku mati? Apa sejatinya hidup itu?” Lalu mereka sama-sama mengupayakan mengenali diri dan hidup ini, dan menawarkan metode-metode.

Metode yang akan dipaparkan berikut ini adalah rangkuman dari pencarian para filsuf dan rohaniawan tersebut. Dirangkum semetodis dan runtut mungkin agar mudah dipahami dan dijalani. Metode ini dikupas secara bertahap melalui praktik berkelanjutan agar batin yang belum terlatih siap setahap demi setahap, dengan perjalanan panjang melalui banyak tahapan, hingga akhirnya memperoleh Pencapaian (mengenali diri, bebas dari stres–keserakahan, kebencian dan ketidak-tahuan).

Sebagaimana mendaki gunung: gunung memiliki dataran bertahap, lereng bertahap, kecondongan bertahap, puncak bertahap, maka dengan cara yang sama Latihan dan Disiplin ini memiliki latihan bertahap, kinerja bertahap, kemajuan bertahap, hanya setelah bentangan yang panjang.

Jadi, Pencapaian tidak bisa sekaligus. Sebaliknya, pencapaian itu setelah pelatihan bertahap, tindakan bertahap, praktik bertahap. Dengan kata lain, pikiran/batin berkembang secara bertahap hingga matang untuk memungkinkan lompatan mendadak bagi Pencapaian.

Ada kasus di mana, ketika keyakinan telah muncul, seorang pasien datang mengunjungi Tabib. Setelah berkunjung, ia menjadi dekat. Setelah menjadi dekat, ia mau mendengarkan Ujaran. Setelah mendengar Ujaran, ia mengingatnya. Dengan mengingatnya, ia menembus makna dari Ujaran-ujaran itu. Dengan menembus makna Ujaran itu, ia sampai pada kesimpulan melalui perenungan terhadap Ujaran itu.

Timbulnya kesimpulan melalui perenungan terhadap Ujaran tersebut, keinginan pun muncul. Ketika keinginan telah muncul, ia berkehendak. Ketika ia berkehendak, ia merenungkan. Setelah merenungkan, ia berupaya. Setelah berupaya, ia menyadari dengan alat inderanya akan adanya kebenaran hakiki dan, setelah menembusnya dengan ketajaman, ia melihatnya.

Ujaran-ujaran ini diresapi dengan gagasan pengembangan yang bertahap: Tabib menuntun siswa/pasien dari prinsip-prinsip pertama menuju latihan-latihan yang lebih tinggi, yang merupakan realisasi penuh dari Pencapaian Total–bebas dari derita:

Kemudian Sang Tabib bertanya kepada dirinya sendiri, “Siapa di sini yang mampu memahami Ilmu Pengobatan ini?” Dia melihat seorang pasien duduk di majelis itu, dan dia berpikir, “Orang ini mampu memahami Ajaran.” Lalu, dengan ditujukan kepada sang siswa, ia memberikan pembicaraan langkah-demi-langkah, yaitu, berbicara tentang dana/amal yang menenangkan, kebajikan yang memudahkan, lemahnya nafsu sensual dan imbalan dari keteguhan.

Kemudian ketika ia melihat bahwa batin siswa itu telah siap, lunak, bebas dari rintangan, gembira & cerah, ia kemudian memberikan Ajaran Pembebasan: tentang stres, sebab stres, berhentinya stres, & cara penanganan stres. Dan seperti kain bersih, bebas dari noda, yang akan mampu menyerap pewarna dengan baik maka dengan cara yang sama seperti si siswa yang duduk mendengarkan ajaran dengan khusyuk, Ajaran itupun muncul dalam dirinya, “Apa pun yang menjadi pelaku bagi penyebab adalah juga merupakan pelaku bagi penghentian.”

Pada tiap tahap dari “latihan bertahap” ini, praktisi menemukan dimensi baru dan penting dari hukum sebab-akibat—yang merupakan landasan untuk Pengertian yang Tepat. Metode ini disusun dalam penataan yang berguna untuk melihat keseluruhan Ajaran.

BERIKUT INI ENAM TAHAP PELATIHAN BERTAHAP MENGENALI DIRI SECARA LEBIH RINCI:

  1. Kedermawanan (dana)
  2. Kebajikan (sila)
  3. Kebersahajaan (tidak mendamba yang berlebihan)
  4. Keteguhan (tidak terlena oleh nafsu)
  5. Empat Kenyataan

Pelatihan bertahap dimulai dengan praktik kedermawanan, yang membantu melemahkan kecenderungan praktisi yang melekat pada kepemilikan pandangan, sensualitas, dan modus dari pemikiran dan perilaku yang belum terlatih. Hal ini diikuti oleh pengembangan terhadap kebajikan, yang merupakan tingkat dasar dari ketahanan-indrawi yang membantu praktisi mengembangkan rasa sehat dan kepercayaan terhadap diri. Ketenangan batin lahir dari tingkat penghargaan-diri ini yang menyediakan dasar untuk semua kemajuan lebih lanjut di sepanjang jalan yang sedang ditempuh.

Praktisi kemudian mengerti bahwa beberapa jenis kebahagiaan itu lebih dalam dan lebih dapat diandalkan daripada kepuasan apa pun yang pernah ada. Pada akhirnya praktisi mulai mengenali kelemahan intrinsik bahkan dari jenis kebahagiaan itu: kebahagiaan yang dibawanya itu bukanlah merupakan kebahagiaan yang sejati karena kebahagiaan tersebut bergantung hal luar–kondisi di mana dia tidak memiliki kontrol. Hal ini menandai titik balik yang penting dalam pelatihan, yakni ketika praktisi mulai memahami bahwa kebahagiaan sejati tidak akan pernah ditemukan di dunia fisik dan sensual.

Satu-satunya rute yang mungkin untuk sebuah kebahagiaan tak-berkondisi terletak pada kebersahajaan dan keteguhan, di dalam menjauhkan diri dari alam sensual, dengan cara menukar bentuk-bentuk kebahagiaan biasa yang rendah dengan sesuatu yang jauh lebih berharga dan mulia. Ingat, dua hal tidak mungkin dipikirkan secara bersamaan dalam satu waktu.

Akhirnya, praktisi sudah matang untuk menerima ajaran-ajaran tentang Empat Kenyataan, yang menguraikan kursus pelatihan mental yang diperlukan untuk mewujudkan kebahagiaan tertinggi: merdeka, tidak tergoyahkan oleh stres sama sekali.

Tidak ada jalan pintas untuk proses ini. (*)