Mengenal Diri dengan Berhijrah

Jika kamu ingin sukses, maka hijrahlah. Pembenaran kalimat tersebut didasari oleh empat hal. Pertama, di tempat asal, seseorang sulit berkembang karena tidak ada tekanan yang membuat hidup makin survive. Sehingga, dalam menghadapi berbagai persoalan, kalimat yang seringkali keluar sebagai sikap adalah, Terima saja keadaannya. Memang begitu yang sudah ditakdirkan. Kedua, kondisi sekeliling tidak mendukung atau kurang terbuka dengan kemungkinan baru.

Ketiga, tempat asal sudah mengetahui identitas baik-buruk seseorang sehingga hal ini dapat menghambat perkembangan seseorang. Ironis, di Indonesia, masyarakat sering menstigma seseorang. Keempat, di tempat baru (tujuan hijrah), seseorang dapat dikatakan memiliki identitas yang tidak diketahui kebanyakan orang sehingga orang tidak akan melihat latar belakang, tetapi produk atau keahlian apa yang dimiliki. Selain itu, ditempat baru tersebut, tidak banyak yang bisa dimintai tolong—meski sekadar untuk sesuap nasi—sehingga seseorang dituntut untuk lebih kreatif dalam menghadapi benturan hidup yang keras.

Hijrah, dalam artian jatuh dari tanah kelahiran atau daerah asal, memungkinkan seseorang untuk merefleksikan diri. Memandang diri ketika di rumah bersama keluarga, juga merefleksikan daerah yang ditinggalkan. Dari sini seseorang akan dapat terus bergerak dan menemukan kesuksesannya.

Lalu bagaimana jika anda mengalami kegagalan?

Anda dapat menjadikan kegagalan sebagai sebuah laboratorium kehidupan, di mana anda menguji proses dan usaha anda dalam mencoba berbagi kemungkinan. Anda sedang ditempa dan  dan akhirnya memiliki kematangan dalam berpikir. Berpikir positif dan tetap menjaga ambisi adalah solusi bagi tiap kelanjutannya. Atur kembali strategi untuk mencapai tiap hal yang anda inginkan tiap manusia memiliki jalannya sendiri2, dan carilah jalan yang sesuai dengan keinginan anda.

Dicuplik dari buku 50 Kisah Sukses dan Inspiratif Diaspora Indonesia. Fairuzul Mumtas, 2014: v-vi