Penolakan

Kemudian sang Siswa, bersama seorang kawan, pergi kepada Sang Guru dan, setelah sampai, membungkuk kepadanya, duduk di sampingnya. Ketika ia duduk ia berkata kepada Sang Guru, “Kawan saya ini berkata kepada saya, ‘Tuan, kami memperturutkan sensualitas, bersenang-senang dengan sensualitas, menikmati sensualitas, bersukacita dalam sensualitas. Maka penolakan-diri itu terlihat seperti sebuah penurunan yang tajam. Namun, saya pernah mendengar bahwa dalam doktrin & disiplin batin para petapa yang masih sangat muda melonjak girang pada penolakan-diri, menjadi percaya diri, teguh, & kokoh, melihatnya sebagai kedamaian. Jadi di sinilah tempatnya di mana doktrin & disiplin ini bertentangan dengan kebanyakan orang: yaitu, [mengenai permasalahan] penolakan-diri.’”

“Memang begitu,” kata sang Guru. “Bahkan saya sendiri, sebelum terbangkitkan, berpikir: ‘Penolakan-diri itu baik. Pengasingan-diri itu baik.’ Tetapi hati saya tidak melonjak girang pada penolakan-diri, tidak tumbuh rasa percaya diri, keteguhan, ataupun kekokohan, dan melihatnya sebagai kedamaian. Pikiran pun muncul di dalam benak saya: ‘Apa penyebabnya, apa alasannya, mengapa hati saya tidak melonjak girang terhadap penolakan-diri, tidak tumbuh rasa percaya diri, keteguhan, ataupun kekokohan, dan melihatnya sebagai kedamaian?’ Kemudian pikiran pun muncul di dalam benak saya: ‘Saya belum melihat kekurangan dari kesenangan-kesenangan sensual; saya belum mengejarnya [pokok permasalahan itu]. Saya belum mengerti ganjaran dari penolakan-diri; saya belum terbiasa dengan hal itu. Itulah sebabnya mengapa hati saya tidak melonjak girang pada penolakan-diri, tidak tumbuh rasa percaya diri, keteguhan, ataupun kekokohan, dan melihatnya sebagai kedamaian.’

“Lalu pikiran pun muncul di dalam benak saya: ‘Jika, setelah melihat kekurangan dari kesenangan-kesenangan sensual, maka saya harus mengejar pokok permalahan ini; dan jika, setelah memahami ganjaran terhadap penolakan-diri, saya harus membiasakan diri dengannya, maka ada kemungkinan bahwa hati saya akan melonjak girang pada penolakan-diri, tumbuh rasa percaya diri, keteguhan, & kekokohan, dan melihatnya sebagai kedamaian.’

“Jadi di lain waktu, setelah melihat kekurangan dari kesenangan-kesenangan sensual, saya mengejar pokok permasalahan itu; setelah memahami ganjaran dari penolakan-diri, saya membiasakan diri dengannya. Hati saya melonjak girang pada penolakan-diri, tumbuh rasa percaya diri, keteguhan, & kekokohan, dan melihatnya sebagai kedamaian. Lalu, cukup terjauhkan dari sensualitas, terjauhkan dari kualitas-kualitas yang tidak terampil, saya masuk & menetap di dalam dhyana pertama: kegairahan & kesenangan terlahir dari penarikan-diri, disertai dengan pikiran & evaluasi yang terarah …” —AN 9.41

Kebahagiaan

Sang Guru: “Apakah benar, bahwa ketika pergi ke hutan, ke kaki sebatang pohon, atau ke tempat yang tidak berpenghuni, engkau berulang kali berseru, “Sungguh bahagia! Sungguh bahagia!’?”

Sang Siswa: “Ya, Tuanku.”

“Apa arti yang Anda miliki dalam pikiran sehingga engkau berulang kali berseru, ‘Sungguh bahagia! Sungguh bahagia!’?”

“Sebelumnya, ketika saya masih seorang penghuni rumah, menjaga kebahagiaan kerajaan, saya punya penjaga yang berjaga di dalam dan di luar istana kerajaan, di dalam dan di luar kota, di dalam dan di luar negeri. Tetapi meskipun demikian saya dijaga, demikian dilindungi, saya masih juga dalam ketakutan—gelisah, tidak percaya, dan takut. Tetapi sekarang, ketika pergi ke hutan sendirian, ke kaki sebatang pohon, atau ke tempat yang tak berpenghuni, saya tinggal tanpa rasa takut, tidak gelisah, percaya diri, dan tidak khawatir—tidak peduli, tenang-tak-terganggu, keinginan-keinginan saya terpuaskan, dengan batin saya seperti seekor rusa liar. ini adalah makna yang ada di dalam pikiran saya sehingga saya berulang kali berseru, “Sungguh bahagia! Sungguh bahagia!’”

Lalu, karena menginsyafi pentingnya hal itu, Sang Guru pada saat itu berseru:

Di dalam diri siapa pun tidak ada penghasutan, & untuk siapa kepantasan & ketidakpantasan. Itu diatasi. Dia lah orangnya—yang melampaui rasa takut, penuh dengan kebahagiaan, tanpa kesedihan, yang merupakan orang yang tidak bisa dilihat oleh para dewa. —Ud 2.10

Tidur malam yang nyenyak

Sang Guru: “Sekarang, apa yang engkau pikirkan: Misalkan seorang penghuni rumah atau putra dari penghuni rumah memiliki sebuah rumah dengan dinding-penyangga-atap rumah yang berbentuk segi tiga, terpampang dari dalam & dari luar, tanpa-saluran udara, dengan pintu yang ukurannya pas dengan kusen-kusennya & jendela-jendela pun tertutup rapat. Di dalamnya dia memiliki dipan rambut kuda yang dihampari dengan selimut dari bulu domba yang panjang yang berupa selimut kain wol berwarna putih dan bersulam, sebuah permadani dari kulit rusa kadali, dengan kanopi di atasnya, & bantal-bantal merah di kedua sisinya. Dan ada lampu yang akan menyala, dan empat orang istrinya yang cantik-cantik dan menarik yang akan mendatanginya. Akankah ia bisa tidur dengan mudah, atau tidak? Atau bagaimanakah hal ini menghantammu?”

Siswa: “Ya , Tuanku, dia akan tidur dengan mudah. Dari antara mereka di dunia ini yang tidur dengan mudah, ia akan menjadi satu.”

“Tetapi apa yang engkau pikirkan, anak muda. Mungkinkah ada timbul di dalam penghuni rumah atau putra dari penghuni rumah yang menderita demam tubuh atau demam batin yang lahir dari hawa nafsu sehingga—karena terbakar oleh demam yang lahir dari hawa nafsu ini—dia akan tidur dengan tidak tenang?”

“Ya, Tuanku.”

“Adapun untuk mereka yang menderita penyakit yang berasal dari demam-hawa nafsu—yang membakar penghuni rumah atau putra penghuni rumah sehingga membuatnya sulit tidur—sehingga hawa nafsu yang telah lama ditinggalkan oleh Tathagata, yaitu orang yang telah benar-benar mencapai tujuan spiritual tertinggi, akarnya hancur, dibuat seperti tunggul pangkal batang pohon lontar yang dicabut karena kondisi pengembangan, tidak dibiarkan tumbuh subur. Oleh karena itu ia tidur dengan mudah.

“Sekarang, apa yang engkau pikirkan, anak muda. Mungkinkah timbul di dalam penghuni rumah atau putra dari penghuni rumah itu jenis demam tubuh atau demam batin apa pun yang lahir dari keengganan sehingga—karena terbakar oleh penyakit demam yang lahir dari keengganan ini—ia akan sulit tidur?”

“Ya, Tuanku.”

“Adapun untuk mereka yang mengidap penyakit demam yang lahir dari keengganan— yang membakar penghuni rumah atau putra penghuni rumah sehingga membuatnya sulit tidur—keengganan ini telah ditinggalkan oleh Tathagata , yaitu orang yang telah benar-benar mencapai tujuan spiritual tertinggi, akarnya hancur, dibuat seperti tunggul pangkal batang pohon lontar yang dicabut karena kondisi pengembangan, tidak dibiarkan tumbuh subur. Oleh karena itu ia tidur dengan mudah.

“Sekarang , apa yang engkau pikirkan, anak muda. Mungkinkah timbul di dalam penghuni rumah atau putra dari penghuni rumah itu jenis demam tubuh atau demam batin apa pun yang lahir dari angan-angan sehingga—karena terbakar oleh penyakit demam yang lahir dari angan-angan ini—ia akan sulit tidur?”

“Ya, Tuanku.”

“Adapun untuk mereka yang mengidap demam penyakit yang lahir dari angan-angan— yang membakar penghuni rumah atau putra penghuni rumah sehingga membuatnya sulit tidur—angan-angan ini telah ditinggalkan oleh Tathagata, yaitu orang yang telah benar-benar mencapai tujuan spiritual tertinggi, akarnya hancur , dibuat seperti tunggul pangkal batang pohon lontar yang dicabut karena kondisi pengembangan, tidak dibiarkan tumbuh subur. Oleh karena itu ia tidur dengan mudah.”

Selalu, selalu, dia tidur dengan mudah: brahman itu sepenuhnya tak terikat, siapa yang tidak mematuhi kesenangan sensual, siapa yang tidak memiliki kemahiran & bersabar.

Setelah memotong semua ikatan & mengalahkan ketakutan yang ada di dalam hati, menjadi tenang, dia tidur dengan mudah, setelah mencapai kedamaian dari kesadaran. —AN 3.34

Istirahat

‘Menjadi sasaran dari kelahiran, sasaran dari penuaan, sasaran dari kematian, menjadi orang yang biasa-biasa saja yang ditolak oleh mereka yang menderita segala sesuatu yang menjadikannya sebagai sasaran.

Dan jika aku harus ditolak dengan menjadi sasaran dari hal-hal ini, itu tidak akan sesuai bagiku, untuk hidup seperti yang mereka lakukan.”

Ketika aku mempertahankan sikap ini—dengan mengetahui Dharma tanpa adanya kemahiran—Aku menanggulangi kemabukan dengan kesehatan, kemudaan, & kehidupan sebagai orang yang melihat penolakan-diri sebagai peristirahatan.

Bagiku, kekuatan muncul, Nirwana terlihat jelas. Sekarang tidak ada cara Aku bisa mengambil bagian dari kesenangan sensual.

Setelah mengikuti kehidupan yang suci, aku tidak akan kembali. —AN 3.38

Tak kenal takut

“Ada kasus orang yang telah meninggalkan hawa nafsu, hasrat, kesukaan, dahaga, demam, dan pengidaman terhadap sensualitas. Kemudian dia jatuh-sakit parah. Saat ia jatuh-sakit parah itu, tidak ada pikiran yang singgah di benaknya, ‘Wahai, kesenangan-kesenangan sensual yang tercinta ini akan diambil dariku, dan aku akan diambil darinya!’ Dia tidak berduka, tidak tersiksa; tidak menangis, memukul dadanya, ataupun mengigau. Ini adalah orang yang, karena menjadi sasaran kematian, tidak takut ataupun ngeri terhadap kematian.” —AN 4.184